Showing posts with label AMALAN. Show all posts
Showing posts with label AMALAN. Show all posts

Bolehkah Berdoa Dengan Bahasa Non Arab?

eringkali ada yang mengajukan pertanyaan, “Bolehkah berdo’a dengan bahasa non Arab?”

Semoga penjelasan berikut bisa menjawab pertanyaan tersebut.


Berdo’a dengan Bahasa Non Arab

Syaikh Sholih Al Munajid hafizhohullah dalam situs beliau Al Islam Sual wa Jawab memberikan penjelasan,

“Jika orang yang shalat mampu berdoa dengan bahasa Arab, maka ia tidak boleh berdo’a dengan bahasa selainnya. Namun jika orang yang shalat tersebut tidak mampu berdo’a dengan bahasa Arab, maka tidak mengapa ia berdo’a dengan bahasa yang ia pahami sambil ia terus mempelajari bahasa Arab (agar semakin baik ibadahnya, -pen).

Adapun do’a di luar shalat, maka tidak mengapa menggunakan bahasa non Arab. Seperti ini sama sekali tidak ada masalah lebih-lebih lagi jika hatinya semakin hadir (semakin memahami) do’a yang ia panjatkan.

TAHLILAN DALAM PANDANGAN WALI SONGO, ULAMA SALAF, DAN IMAM 4 MAZHAB 3 (2)

Dalam buku Kisah dan Ajaran Wali Songo yang ditulis H. Lawrens Rasyidi dan diterbitkan Penerbit Terbit Terang Surabaya juga mengupas panjang lebar mengenai masalah ini. Dimana Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati dan Sunan Muria (kaum abangan) berbeda pandangan mengenai adat istiadat dengan Sunan Ampel, Sunan Giri dan Sunan Drajat (kaum putihan). Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat lama seperti selamatan, bersaji, wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman.

Sunan Ampel berpandangan lain: “Apakah tidak mengkhawatirkannya di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah?” Sunan kudus menjawabnya bahwa ia mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada yang menyempurnakannya. (hal 41, 64)

TAHLILAN DALAM PANDANGAN WALI SONGO, ULAMA SALAF, DAN IMAM 4 MAZHAB 3

Muktamar NU ke-1 di Surabaya tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H/21 Oktober 1926 mencantumkan pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dan menyatakan bahwa selamatan kematian adalah bid'ah yang hina namun tidak sampai diharamkan dan merujuk juga kepada Kitab Ianatut Thalibin. Namun Nahdliyin generasi berikutnya menganggap pentingnya tahlilan tersebut sejajar (bahkan melebihi) rukun Islam/Ahli Sunnah wal Jama’ah. Sekalipun seseorang telah melakukan kewajiban-kewajiban agama, namun tidak melakukan tahlilan, akan dianggap tercela sekali, bukan termasuk golongan Ahli Sunnah wal Jama’ah. 

Status Riwayat “Senandung Al Qur’an”

Berikut ini adalah penjelasan tentang status riwayat dari sebuah doa yang sangat populer di masyarakat kita. Oleh sebagian orang dijadikan sebagai bacaan puji-pujian sebelum shalat dan sebagian yang lain menjadikannya sebagai bacaan ‘wajib’ sebelum atau setelah pengajian. Bacaan ini di masyarakat kita dikenal dengan sebutan bacaan senandung al Qur’an.

معضل داود بن قيس:
Hadits mu’dhal (ingat mu’dhal termasuk hadits yang lemah karena sanadnya tidak bersambung, pent) yang dibawakan oleh Daud bin Qois

أن النبي كان يدعو عند ختم القرآن: ((اللهم ارحمني بالقرآن, واجعله لي إماماً, ونوراً, وهدى ورحمةً, اللهم ذَكِّرْني منه ما نسيت, وعلّمني منه ما جهلت, وارزقني تلاوته آناء الليل, واجعله لي حجة يا رب العالمين)).

Sesungguhnya Nabi jika khataman al Qur’an biasa mengucapkan kalimat berikut ini:
Allhummarhamni bilqur’an. Waj-‘alhu li imaman wa nuran wa hudan wa rohmah. Allhumma dzakkirni minhu ma nasitu wa ‘allimni minhu ma jahiltu warzuqni tilawatahu aana-allaili waj-‘alhu li hujatan ya rabbal ‘alamin.

ADAB ADAB SEORANG MUSLIM SAAT MAKAN 4

Tidak mencela makanan

Dari Abu Hurairah r.a beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak pernah mencela makanan. Jika beliau menyukai satu makanan, maka beliau memakannya. Jika beliau tidak suka, maka beliau meninggalkannya.” (HR. Bukhari no. 5409 dan Muslim no. 2064)

Mencela makanan adalah ketika seseorang menikmati hidangan yang disajikan lalu ia mengomentari makanan tersebut dengan mengucapkan terlalu asin, kurang asin, lembek, terlalu keras, tidak matang dan lain sebagainya.

Hikmah dari larangan ini adalah: karena makanan adalah ciptaan Allah sehingga tidak boleh dicela. Di samping itu, mencela makanan menyebabkan orang yang membuat dan menyajikannya menjadi tersinggung (sakit hati). Ia sudah berusaha menyiapkan hidangan dengan sebaik mungkin, namun ternyata hanya mendapatkan celaan. Oleh karena itu syariat melarang mencela makanan agar tidak menimbulkan kesedihan dalam hati seorang muslim.

ADAB ADAB SEORANG MUSLIM SAAT MAKAN 3

Dari Jabir bin Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika makanan salah satu kalian jatuh maka hendaklah diambil dan disingkirkan kotoran yang melekat padanya, kemudian hendaknya di makan dan jangan dibiarkan untuk setan” Dalam riwayat yang lain dinyatakan, “sesungguhnya setan bersama kalian dalam segala keadaan, sampai-sampai setan bersama kalian pada saat makan. Oleh karena itu jika makanan kalian jatuh ke lantai maka kotorannya hendaknya dibersihkan kemudian di makan dan jangan dibiarkan untuk setan. Jika sudah selesai makan maka hendaknya jari jemari dijilati karena tidak diketahui di bagian manakah makanan tersebut terdapat berkah.” (HR Muslim no. 2033 dan Ahmad 14218)

ADAB MAKAN SEORANG MUSLIM 1

Oleh : Ustadz Aris Munandar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

{ يَا غُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ }

“Wahai anakku, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang berada di dekatmu.” (HR Bukhari no. 5376 dan Muslim 2022)

Hadits di atas mengandung tiga adab makan:

BERINFAQLAH AGAR HARTA TETAP BAROKAH

Ketika telah meraih kesuksesan, kadang seseorang lupa daratan. Ketika bisnis di puncak kejayaan, manusia pun lupa akan kewajiban dari harta yang mesti dikeluarkan dan lupa untuk saling berbagi. Semoga sajian singkat ini bisa memotivasi kita untuk gemar berinfak dan memanfaatkan nikmat harta di jalan yang benar.