PADAMNYA API CEMBURU 1

Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Cemburu, asal tidak berlebihan, merupakan salah satu sifat terpuji yang harus dimiliki pasangan suami istri. Sayangnya, kerusakan moral atas nama modernitas telah mengikis rasa cemburu itu. Walhasil, pintu perselingkuhan pun terbuka lebar hingga berujung pada runtuhnya bangunan rumah tangga.
Banyak kita jumpai fenomena di mana seorang suami tidak lagi merasa berat hati bila melihat istrinya keluar rumah berdandan lengkap dengan beraneka polesan make-up di wajah. Sang istri datang ke pesta, ke pusat perbelanjaan, ataupun ke tempat kerja hanya dengan pakaian ‘sekedarnya’ yang memperlihatkan auratnya. Tak cuma itu, keluarnya istri dari rumah pun seringkali hanya ditemani sopir pribadinya.
Hati suami seakan tak tergerak. Darahnya pun seolah tidak mendidih melihat semua itu. Justru terselip rasa bangga bila istrinya dapat tampil cantik di hadapan banyak orang. Parahnya lagi, dia tetap merasa tenang ketika ada lelaki lain yang mendekati istrinya dan berbicara dengan nada akrab. Bahkan sekali lagi dia merasa bangga bila lelaki lain itu mengagumi kecantikan istrinya.

Yang ironis, sang suami dengan semua itu, kemudian memandang dirinya sebagai seorang yang berpikiran maju, moderat, penuh pengertian, dan mengikuti perkembangan jaman. Innalillahi wa inna ilaihi raji‘un.
Sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=132

PADAMNYA API CEMBURU 2

Kebobrokan akhlak yang sangat parah pun menimpa, tatkala ghirah itu hilang… tatkala bara cemburu itu padam… Seorang suami tidak lagi memiliki ghirah terhadap istrinya, tidak ada rasa cemburu yang membuat dia menjaga istri dengan baik. Menyimpannya dalam istana yang mulia agar tidak terjamah tatapan mata dan sentuhan tangan yang tidak halal… Tidak ada lagi rasa cemburu di hatinya yang dapat mendorong untuk menjaga istrinya agar tidak melakukan hal-hal yang dilarang Allah dan Rasul-Nya, agar tidak melakukan pelanggaran akhlak dan moral. Bahkan, dia sendiri terjerembab, jatuh dalam jurang kenistaan.

Penyebab Terjadinya Perpecahan (2)

Dan barangsiapa yang menakwilkan sifat-sifat Allah k dengan sesuatu yang membatalkan maknanya yang hakiki yang dikehendaki oleh Allah k dalam Kitab-Nya, dan yang dikehendaki oleh Nabi-Nya sebagai penyampai dari-Nya, dengan persangkaan bahwa zhahir ayat tersebut bukanlah yang diinginkan –karena bila memahami secara zhahir maka menyebabkan terjadinya penyerupaan dengan makhluk– seperti anggapan kaum Asy’ariyyah, atau meniadakan sifat-sifat Allah k secara keseluruhan seperti anggapan kaum Jahmiyyah dan Mu’tazilah, atau menyangka bahwa Al-Qur`an bukanlah firman Allah k, namun hanyalah makhluk seperti makhluk yang lainnya, dan berpendapat bahwa Allah k tidak dilihat oleh kaum mukminin di akhirat seperti anggapan kaum Mu’tazilah; Dan barangsiapa yang menganggap bahwa seorang hamba menciptakan perbuatannya sendiri seperti anggapan kaum Qadariyyah yang mengingkari takdir, atau mengatakan bahwa seorang hamba tidak punya kehendak, seperti batu yang didorong atau seperti ranting yang digerakkan oleh angin seperti kaum Jabriyyah yang ekstrem dalam menetapkan taqdir dan perbuatan-perbuatan Allah k, atau menyangka bahwa pelaku dosa besar adalah kafir dan kekal dalam neraka seperti anggapan kaum Khawarij, atau berkata bahwa dia (yaitu pelaku dosa besar) tidak mukmin dan tidak pula kafir, sedangkan di akhirat dia akan kekal dalam neraka, seperti anggapan kaum Mu’tazilah; Atau menganggap bahwa iman tidaklah dipengaruhi dengan adanya dosa, atau iman itu hanya sekedar pembenaran, walaupun tidak diucapkan dan tidak diamalkan seperti anggapan kaum Murji’ah; Atau menganggap bahwa bacaan dan cara-cara tarekat si fulan atau tarekat syaikh fulan lebih afdhal dari membaca Al-Qur`an, atau lebih afdhal dari membaca hadits Nabi dan bahwa tarekat itulah yang benar, atau lebih mengutamakan tarekat Sufiyyah daripada akidah Salafiyyah; Atau meyakini bahwa 12 imam terpelihara dari kesalahan, dan meyakini kekafiran para shahabat, sebab mereka lebih mengutamakan Abu Bakr, Umar dan Utsman daripada Ali dalam kekhilafahan, dan membolehkan mencela para shahabat g seperti anggapan kaum Rafidhah; Maka semua keyakinan ini dan yang semisalnya dengan berbagai tingkatannya, inilah yang memecah belah umat. Dan inilah yang menyebabkan terjadinya perpecahan yang tercela sebagaimana yang ditegaskan dalam Al-Qur`an.