Oleh: Adiwarman A. Karim (Muamalat Institut)
Siapa tak kenal Ibn Khaldun. Bagi dunia Islam ia adalah seorang ulama ternama, sedangkan bagi para ekonom ia dikenal sebagai salah seorang bapak ilmu ekonomi. Ahli sejarah ekonomi terkemuka, Joseph Schumpeter, mencatat nama Ibn Khaldun di dua tempat dalam bukunya History of Economic Analysis.
Karya monumental Ibn Khaldun adalah Al-Muqaddimah yang menjadi sumber dari berbagai ilmul sosial seperti sejarah, psikologi, geografi, ekonomi, dan sebagainya. Ulama yang lahir di Tunisia (1332) dan wafat di Kairo (1406) ini juga diakui oleh penasihat ekonomi Presiden Reagen sebagai inspirator teori pajak yang dikenal dengan nama "Kurva Laffer".
Di dalam Al-Muqaddimah , Khaldun menulis secara khusus satu bab berjudul "Harga-Harga di Kota-Kota". Ia membagi jenis barang menjadi barang kebutuhan pokok dan barang mewah. Nah, menurut dia, bila suatu kota berkembang dan selanjutnya populasinya akan bertambah banyak, maka harga- harga barang kebutuhan pokok akan mendapat prioritas pengadaannya. Akibatnya penawaran meningkat dan ini berarti turunnya harga. Sedangkan untuk baarang-barang mewah, permintaannya akan meningkat sejalan dengan berkembangnya kota dan berubahnya gaya hidup. Akibatnya harga barang mewah meningkat.
Ibn Khaldun juga menjelaskan mekanisme penawaran dan permintaan dalam menentukan harga keseimbangan. Secara lebih rinci ia menjabarkan pengaruh persaingan di antara konsumen untuk mendapatkan barang pada sisi permintaan. Setelah itu ia menjelaskan pula pengaruh meningkatnya biaya produksi karena pajak dan pungutan-pungutan lain di kota tersebut, pada sisi penawaran (The Muqaddimah of Ibn Khaldun, II:276-8).
Pada bagian lain dari bukunya, Ibn Khaldun menjelaskan pengaruh naik dan turunnya penawaran terhadap harga. Ia mengatakan, "Ketika baarang-barang yang tersedia sedikit, maka harga-harga akan naik. Namun bila jarak antarkota dekat dan aman untuk melakukan perjalanan, maka akan banyak barang yang diimpor sehingga ketersediaan barang akan melimpah, dan harga-harga akan turun" (Ibid., 338). Hal ini menunjukkan bahwa Ibn Khaldun, sebagaimana Ibn Taimiyah, telah mengidentifikasi kekuatan permintaan dan penawaran sebagai penentu keseimbangan harga.
Masih ingat dua tulisan sebelumnya bahwa Al-Ghazali menyatakan motif berdagang adalah mencari untung? (Ihya, II:73). Ghazali juga menyatakan hendaknya motivasi keuntungan itu hanya untuk barang-barang yang bukan kebutuhan pokok. Keuntungan pun didefinisikan Ghazali sebagai keuntungan di dunia dan di akhirat.
Nah, Ibn Khaldun menjelaskan secara lebih rinci. Menurut dia, keuntungan yang wajar akan mendorong tumbuhnya perdagangan sedangkan keuntungan yang sangat rendah akan membuat lesu perdagangan karena pedagang kehilangan motivasi. Sebaliknya, bila pedagang mengambil keuntungan sangat tinggi juga akan membuat lesu perdagangan karena lemahnya permintaan konsumen (Ibid., 340-341).
Bila dibandingkan dengan Ibn Taimiyah yang tidak menggunakan istilah persaingan, Ibn Khaldun menjelaskan secara eksplisit elemen-elemen persaingan. Bahkan ia juga menjelaskan secara eklplisit jenis-jenis biaya yang membentuk kurva penawaran, sedangkan Ibn Taimiyah secara implisit.
Ibn Khaldun juga mengamati fenomena tinggi-rendah, tanpa mengajukan konsep apapun tentang kebijakan kontrol harga. Di sinilah bedanya, tampaknya Ibn Khaldun lebih fokus menjelaskan fenomena yang terjadi, sedangkan Ibn Taimiyah lebih fokus pada kebijakan untuk menyikapi fenomena yang terjadi.
Lihat saja misalnya, Ibn Taimiyah tidak menjelaskan secara rinci pengaruh turun-naiknya permintaan dan penawaran terhadap harga keseimbangan. Namun ia menjelaskan secara rinci bahwa pemerintah tidak perlu ikut campur tangan dalam menentukan harga selama mekanisme pasar berjalan normal. Hanya bila mekanisme normal tidak berjalan, pemerintah disarankan melakukan kontrol harga (Economic Concept of Ibn Taimiyah, hal. 97-101).
No comments:
Post a Comment