TAHLILAN DALAM PANDANGAN WALI SONGO, ULAMA SALAF, DAN IMAM 4 MAZHAB 3 (3)

Penjelasan Dari Nahdalatul Ulama (NU), Para Ulama Salafus salih, WaliSongo, 4 Mahzab Tentang Bid'ahnya Tahlilan

Segala puji bagi Allah, sholawat serta salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya. Do’a dan shodaqoh untuk sesama muslim yang telah meninggal menjadi ladang amal bagi kita yang masih di dunia ini sekaligus tambahan amal bagi yang telah berada di alam sana. 

Sebagai agama yang mencerahkan dan mencerdaskan, Islam membimbing kita menyikapi sebuah kematian sesuai dengan hakekatnya yaitu amal shalih, tidak dengan hal-hal duniawi yang tidak berhubungan sama sekali dengan alam sana seperti kuburan yang megah, bekal kubur yang berharga, tangisan yang membahana, maupun pesta besar-besaran. Bila diantara saudara kita menghadapi musibah kematian, hendaklah sanak saudara menjadi penghibur dan penguat kesabaran, sebagaimana Rasulullah memerintahkan membuatkan makanan bagi keluarga yang sedang terkena musibah tersebut, dalam hadits:


“Kirimkanlah makanan oleh kalian kepada keluarga Ja'far, karena mereka sedang tertimpa masalah yang menyesakkan”.(HR Abu Dawud (Sunan Aby Dawud, 3/195), al-Baihaqy (Sunan al-Kubra, 4/61), al-Daruquthny (Sunan al-Daruquthny, 2/78), al-Tirmidzi (Sunan al-Tirmidzi, 3/323), al- Hakim (al-Mustadrak, 1/527), dan Ibn Majah (Sunan Ibn Majah, 1/514)

Namun ironisnya kini, justru uang jutaan rupiah dihabiskan tiap malam untuk sebuah selamatan kematian yang harus ditanggung keluarga yang terkena musibah. Padahal ketika Rasulullah ditanya shodaqoh terbaik yang akan dikirimkan kepada sang ibu yang telah meninggal, Beliau menjawab ‘air’. Bayangkan betapa banyak orang yang mengambil manfaat dari sumur yang dibuat itu (menyediakan air bagi masyarakat indonesia yang melimpah air saja sangat berharga, apalagi di Arab yang beriklim gurun), awet dan menjadi amal jariyah yang terus mengalir.

Rasulullah telah mengisyaratkan amal jariyah kita sebisa mungkin diprioritaskan untuk hal-hal yang produktif, bukan konsumtif; memberi kail, bukan memberi ikan; seandainya seorang pengemis diberi uang atau makanan, besok dia akan mengemis lagi; namun jika diberi kampak untuk mencari kayu, besok dia sudah bisa mandiri. Juga amal jariyah yang manfaatnya awet seperti menulis mushaf, membangun masjid, menanam pohon yang berbuah (reboisasi; reklamasi lahan kritis), membuat sumur/mengalirkan air (fasilitas umum, irigasi), mengajarkan ilmu, yang memang benar-benar sedang dibutuhkan masyarakat. Bilamana tidak mampu secara pribadi, toh bisa dilakukan secara patungan. Seandainya dana umat Islam yang demikian besar untuk selamatan berupa makanan (bahkan banyak makanan yang akhirnya dibuang sia-sia; dimakan ayam; lainnya menjadi isyrof) dialihkan untuk memberi beasiswa kepada anak yatim atau kurang mampu agar bisa sekolah, membenahi madrasah/sekolah islam agar kualitasnya sebaik sekolah faforit (yang umumnya milik umat lain),atau menciptakan lapangan kerja dan memberi bekal ketrampilan bagi pengangguran, niscaya akan lebih bermanfaat. Namun shodaqoh tersebut bukan suatu keharusan, apalagi bila memang tidak mampu. Melakukannya menjadi keutamaan, bila tidak mau pun tidak boleh ada celaan.

Sebagian ulama menyatakan mengirimkan pahala tidak selamanya harus dalam bentuk materi, Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyah berpendapat bacaan al- Qur’an dapat sampai sebagaimana puasa, nadzar, haji, dll; sedang Imam Syafi’i dan Imam Nawawi menyatakan bacaan al-Qur’an untuk si mayit tidak sampai karena tidak ada dalil yang memerintahkan hal tersebut, tidak dicontohkan Rasulullah dan para shahabat. Berbeda dengan ibadah yang wajib atau sunnah mu’akad seperti shalat, zakat, qurban, sholat jamaah, i’tikaf 10 akhir ramadhan, yang mana ada celaan bagi mereka yang meninggalkannya dalam keadaan mampu. Akan tetapi di masyarakat kita selamatan kematian/tahlilan telah dianggap melebihi kewajiban- kewajiban agama. Orang yang meninggalkannya dianggap lebih tercela daripada orang yang meninggalkan sholat, zakat, atau kewajiban agama yang lain. Sehingga banyak yang akhirnya memaksakan diri karena takut akan sanksi sosial tersebut. Mulai dari berhutang, menjual tanah, ternak atau barang berharga yang dimiliki, meskipun di antara keluarga terdapat anak yatim atau orang lemah. Padahal di dalam al-Qur’an telah jelas terdapat arahan untuk memberikan perlindungan harta anak yatim; tidak memakan harta anak yatim secara dzalim, tetapi menjaga sampai ia dewasa (QS an-Nisa’: 2, 5, 10, QS al- An’am: 152, QS al-Isra’: 34) serta tidak membelanjakannya secara boros (QS an- Nisa’: 6)

Dibalik selamatan kematian tersebut sesungguhnya juga terkandung tipuan yang memperdayakan. Seorang yang tidak beribadah/menunaikan kewajiban agama selama hidupnya, dengan besarnya prosesi selamatan setelah kematiannya akan menganggap sudah cukup amalnya, bahkan untuk menebus kesalahan-kesalahannya. Juga seorang anak yang tidak taat beribadahpun akan menganggap dengan menyelenggarakan selamatan, telah menunaikan kewajibannya berbakti/mendoakan orang tuanya.

Imam Syafi'i rahimahullah dalam kitab al-Umm berkata:

"...dan aku membenci al-ma'tam, yaitu proses berkumpul (di tempat keluarga mayat) walaupun tanpa tangisan, karena hal tersebut hanya akan menimbulkan bertambahnya kesedihan dan membutuhkan biaya, padahal beban kesedihan masih melekat." (al-Umm (Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1393) juz I, hal 279)

Namun ketika Islam datang ke tanah Jawa ini, menghadapi kuatnya adat istiadat yang telah mengakar. Masuk Islam tapi kehilangan selamatan-selamatan, beratnya seperti masyarakat Romawi disuruh masuk Nasrani tapi kehilangan perayaan kelahiran anak Dewa Matahari 25 Desember.

Dalam buku yang ditulis H Machrus Ali, mengutip naskah kuno tentang jawa yang tersimpan di musium Leiden, Sunan Ampel memperingatkan Sunan Kalijogo yang masih melestarikan selamatan tersebut:“Jangan ditiru perbuatan semacam itu karena termasuk bid'ah”. Sunan Kalijogo menjawab: “Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan menghilangkan budaya tahlilan itu”.

No comments:

Post a Comment