Penyebab Terjadinya Perpecahan (2)

Dan barangsiapa yang menakwilkan sifat-sifat Allah k dengan sesuatu yang membatalkan maknanya yang hakiki yang dikehendaki oleh Allah k dalam Kitab-Nya, dan yang dikehendaki oleh Nabi-Nya sebagai penyampai dari-Nya, dengan persangkaan bahwa zhahir ayat tersebut bukanlah yang diinginkan –karena bila memahami secara zhahir maka menyebabkan terjadinya penyerupaan dengan makhluk– seperti anggapan kaum Asy’ariyyah, atau meniadakan sifat-sifat Allah k secara keseluruhan seperti anggapan kaum Jahmiyyah dan Mu’tazilah, atau menyangka bahwa Al-Qur`an bukanlah firman Allah k, namun hanyalah makhluk seperti makhluk yang lainnya, dan berpendapat bahwa Allah k tidak dilihat oleh kaum mukminin di akhirat seperti anggapan kaum Mu’tazilah; Dan barangsiapa yang menganggap bahwa seorang hamba menciptakan perbuatannya sendiri seperti anggapan kaum Qadariyyah yang mengingkari takdir, atau mengatakan bahwa seorang hamba tidak punya kehendak, seperti batu yang didorong atau seperti ranting yang digerakkan oleh angin seperti kaum Jabriyyah yang ekstrem dalam menetapkan taqdir dan perbuatan-perbuatan Allah k, atau menyangka bahwa pelaku dosa besar adalah kafir dan kekal dalam neraka seperti anggapan kaum Khawarij, atau berkata bahwa dia (yaitu pelaku dosa besar) tidak mukmin dan tidak pula kafir, sedangkan di akhirat dia akan kekal dalam neraka, seperti anggapan kaum Mu’tazilah; Atau menganggap bahwa iman tidaklah dipengaruhi dengan adanya dosa, atau iman itu hanya sekedar pembenaran, walaupun tidak diucapkan dan tidak diamalkan seperti anggapan kaum Murji’ah; Atau menganggap bahwa bacaan dan cara-cara tarekat si fulan atau tarekat syaikh fulan lebih afdhal dari membaca Al-Qur`an, atau lebih afdhal dari membaca hadits Nabi dan bahwa tarekat itulah yang benar, atau lebih mengutamakan tarekat Sufiyyah daripada akidah Salafiyyah; Atau meyakini bahwa 12 imam terpelihara dari kesalahan, dan meyakini kekafiran para shahabat, sebab mereka lebih mengutamakan Abu Bakr, Umar dan Utsman daripada Ali dalam kekhilafahan, dan membolehkan mencela para shahabat g seperti anggapan kaum Rafidhah; Maka semua keyakinan ini dan yang semisalnya dengan berbagai tingkatannya, inilah yang memecah belah umat. Dan inilah yang menyebabkan terjadinya perpecahan yang tercela sebagaimana yang ditegaskan dalam Al-Qur`an.



Adapun perselisihan dalam perkara furu’, maka tidaklah menyebabkan adanya tafriq (berpecah-belah) dan tidak pula berakibat saling mencela satu sama lain. Karena hal ini terjadi pada zaman Nabi n, dan tidak menyebabkan saling mencela antara yang satu dengan yang lainnya, dan tidak pula bersikap keras antara yang satu dengan yang lainnya.

Dalam Shahih Al-Bukhari dari Ibnu ‘Umar c, dia berkata: Nabi n bersabda pada saat perang Ahzab: “Janganlah salah seorang kalian shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah”. Kemudian sebagian shahabat mendapati waktu shalat Ashar di perjalanan. Sebagian shahabat berkata: ‘Kami tidak mengerjakan shalat sampai kami tiba (di Bani Quraizhah).’ Sebagian yang lain berkata: ‘Kita tetap shalat (pada waktunya). Bukan itu (shalat Ashar di Bani Quraizhah) yang beliau inginkan dari kita.’ Lalu perkara ini disebutkan kepada Rasulullah n dan beliau tidak mencela seorangpun dari mereka.” (HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Maghazi, 30/4119)

Juga dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan bahwa Muhammad bin Abi Bakr bertanya kepada Anas bin Malik z dalam keadaan keduanya sedang berangkat dari Mina menuju Arafah: “Apa yang kalian dulu kerjakan (berupa dzikir, pen.) bersama Rasulullah n pada hari ini?” Beliau z menjawab: “Di antara kami ada yang bertalbiyah, dan beliau tidak mengingkarinya. Dan di antara kami ada pula yang bertakbir, dan beliau pun tidak mengingkarinya.” (HR. Al-Bukhari, 86/1659)

Dan para shahabat Rasulullah n telah berbeda pendapat dalam berbagai masalah furu’ dan mereka tidak saling mencela. Tidak pula memunculkan celaan, pemboikotan, dan perpecahan. Kemudian pula, bahwa merupakan tabiat manusia, mereka berselisih dalam perkara yang diperbolehkan untuk ijtihad berupa hukum-hukum furu’, dipandang dari perbedaan pandangan akal dan kesiapan fitrahnya. Dengan sebab inilah tidak ada celaan atasnya.

Adapun jika telah menyentuh agama, akidah dihinakan, maka sesungguhnya mereka (para shahabat) sangat marah, walaupun orang tersebut termasuk kerabatnya yang terdekat. Telah shahih dari Ibnu ‘Umar c tatkala beliau c menyebutkan hadits Rasulullah n:



إِذَا اسْتَأْذَنَتْ أَحَدَكُمُ امْرَأَتُهُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلْيَأَذَنْ لَهَا، لاَ تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ



“Jika istri salah seorang kalian meminta izin kepada kalian untuk pergi ke masjid maka hendaklah dia mengizinkannya. Janganlah kalian mencegah hamba-hamba wanita Allah (keluar menuju) masjid-masjid Allah.”

Maka Bilal (salah seorang anak Ibnu ‘Umar c, -pen.) berkata: “Demi Allah, kami akan mencegah mereka, jika tidak maka dia akan membuat kerusakan.”

Perawi hadits ini berkata: “Maka (Ibnu ‘Umar c) mencelanya dengan celaan yang buruk, yang aku tidak pernah mendengar (celaan) seperti itu sebelumnya. Dan beliau berkata: ‘Aku memberitakan kepadamu hadits Rasulullah n, lalu kamu berkata: ‘Demi Allah, kami akan mencegahnya’?!” (HR. Al-Bukhari no. 865 dan Muslim no. 442)

Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari berkata: “(Kisah ini) terdapat dalam riwayat Ibnu Abi Najih dari Mujahid. Adapun menurut riwayat Al-Imam Ahmad, disebutkan bahwa Abdullah bin ‘Umar tidak mengajaknya bicara sampai beliau meninggal.”

Dan dalam Musnad Al-Imam Ahmad disebutkan bahwa Abu Bakrah z berkata:



نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخَذْفِ



“Rasulullah n melarang melempar dengan kerikil.”

Maka salah seorang anak pamannya berkata: “Melarang dari ini?”, sambil melempar kerikil dengan dua jarinya. Maka Abu Bakrah z berkata: “Apakah engkau tidak melihatku memberitakan kepadamu hadits Rasulullah n bahwa beliau melarang, lalu engkau melakukannya?! Demi Allah k, aku tidak akan mengajakmu berbicara selama hidupku!”, atau (kalimat) yang semisal dengan ini.” (Musnad Al-Imam Ahmad, 5/46)

Demikian pula yang dialami oleh Abdullah bin Mughaffal z bersama seorang kerabatnya dalam masalah melempar kerikil dengan dua jari, disebutkan dalam Musnad (5/55). (Lihat kitab Al-Maurid Al-’Adzb Az-Zulal, An-Najmi, hal. 99-102)



Al-Wala` wal Bara` Hanyalah di atas Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya

Kita memetik faedah dari ayat ini bahwa tolak ukur kebenaran hanyalah yang datang dari Allah k, Rasul-Nya, dan apa yang telah menjadi kesepakatan pendahulu umat ini. Adapun selain itu maka hal tersebut adalah kesesatan, perpecahan dan penyimpangan dari jalan Allah k. Firman-Nya:



وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيْراً



“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa`: 115)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Agama kaum muslimin dibangun di atas ittiba’ (ikut) terhadap Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, serta apa yang telah disepakati oleh umat ini. Ketiga perkara ini merupakan prinsip-prinsip yang tetap terjaga (dari kesesatan). Dan apa saja yang diperselisihkan umat ini, maka mereka kembalikan kepada Allah k dan Rasul-Nya. Dan tidak diperbolehkan bagi siapapun untuk mengangkat seseorang lalu mengajak kepada jalan orang itu, dan ber-wala` dan bara` di atasnya, kecuali kepada Nabi n. Dan tidak boleh seseorang memegang suatu perkataan, lalu ber-wala` dan bara` di atas perkataan tersebut, kecuali bila itu perkataan Allah k dan perkataan Rasul-Nya n. Dan apa yang disepakati umat ini. Bahkan (bersikap wala` dan bara` bukan di atas tiga perkara ini) termasuk perbuatan ahli bid’ah, yang mereka mengangkat seseorang atau suatu perkataan lalu memecah belah umat dengannya, bersikap loyal dan memusuhi di atas perkataan atau penisbatan tersebut.” (Dar`ut Ta’arudh, 1/272; Mauqif Ibnu Taimiyyah, 1/269-270)

Jika kita perhatikan ayat ini, maka jelaslah bahwa apa yang selama ini diamalkan oleh kelompok-kelompok sesat, baik itu Ikhwanul Muslimin, Jamaah Tabligh, Islam Jamaah, tarekat Shufiyyah, Hizbut Tahrir, dan yang lainnya adalah kesesatan yang nyata.

Maka perhatikanlah, semoga kita termasuk di antara hamba-hamba yang diberi hidayah.

Amin.

No comments:

Post a Comment